Foto: Ilustrasi Kilang Minyak PT. Pertamina Hulu Mahakam |
Jakarta, pospublik.co.id - Proses mediasi perkara Nomor: 23/Pdt.G/2024/PN.Jkt.Sel, antara penggugat, warga Desa Sepatin, Kalimantan Timur yang diwakili kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Ferdinand Montororing & Partner dengan tergugat, Pertamina Hulu Mahakam (PHM), dan SKK Migas mengalami kendala karena menurut penggugat, karena respon negatif dari tergugat.
"Hakim Mediasi, Luciana Amping di Pengadilan Negeri Kelas 1A khusus Jakarta Selatan pada sidang mediasi mempersilahkan tergugat dengan penggugat bermusyawarah terlebih dahulu diluar forum. Hasil musyawarah disampaikan ke forum mediasi pekan depan. Namun, pihak tergugat hanya merespon negatif," ujar Ferdinand kepada media ini.
Mantan Kepala BAIS TNI, Soleman B. Ponto yang merupakan salah seorang tim kuasa hukum warga Desa Sepatin beberapa waktu lalu di PN Jakarta Selatan mengatakan, seharusnya, untuk pembebasan lahan warga untuk proyek PSN Migas seluas 720 hektar itu wajib hukumnya terlebih dahulu diterbitkan penetapan lokasi (panlok) oleh Gubernur. Ketentuan tersebut kata Ponto diatur pada Perpres.
"Kalau tidak ada penetapan lokasi oleh Gubernur, maka pembebasan lahan tersebut terindikasi penyerobotan yang konotasi nya terjadi Tindak Pidana Korupsi. Sehingga, secara umum, yang dirugikan bukan hanya pemilik lahan, tetapi seluruh rakyat Indonesia terkait pengelolaan APBN tersebut," tegas Soleman.
Menurut Ferdinand, atas tindakan semena mana oleh tergugat, kliennya (penggugat) menuntut ganti rugi sekitar 41 milyar. Namun dua perkara lagi masih belum diajukan dan tidak menutup kemungkinan indikasi korupsinya akan dilaporkan ke Kejagung dan KPK.
Humas tergugat yang berusaha dikonfirmasi wartawan, seputar upaya mediasi, tidak berkenan memberi penjelasan. (MA)