Ferry Lumban Gaol, SH. MH, Direktur Firma Aura Keadilan, yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum Aura Keadilan |
Dalam perjalanan mengikuti persidangan Pembunuhan Brigadir Yosua Hutabarat dengan Dakwaan Pembunuhan Berencana yang dilakukan seorang Jenderal Bintang 2 dengan jabatan Kadiv Propam, Irjen Ferdy Sambo, masyarakat seakan dibawa ketitik jenuh sehingga membuat kasus ini akan luput dari pengawasan masyarakat.
Seyogyanya, perkara ini dapat diselesaikan dengan cepat karena alasan Pelakunya jelas, Korbannya jelas dan alat bukti jelas, pasal dakwaannya cukup topik, tepat dan sesungguhnya Majelis Hakim tidak seharusnya bersusah payah dan berlama-lama untuk memutus Perkara Pidana Ini.
Demikian Direktur Firma Aura Keadilan, yang juga Ketua Lembaga Bantuan Hukum Aura Keadilan, Ferry Lumban Gaol, SH.MH, kepada pospublik.co.id, Selasa (15/11/2022) terkait proses pemeriksaan perkara FS dkk di Pengadilan Negeri Kelas IA Khusus Jakarta Selatan.
Persidangan Pembunuhan Berencana yang pelakunya sampai melibatkan puluhan tersangka, Ferdy Sambo, Richard Eliezer, Ricky Rizal, Kuat Ma'ruf dan Putri Chandrawati, maupun terkait kasus tuduhan Obstraction of Justice, menurut Ferry Lumban Gaol, sebenarnya tidak perlu berlama- lama pemeriksaannya. Pertanyaan pertanyaan kuasa hukum terdakwa terkesan ngalur-ngidul bahkan berupaya hanya membangun opini, dan terkesan hanya mendiskreditkan korban yang sudah almahum, sehingga melenceng dari BAP yang didakwakan
Ferry Lumban Gaol mengatakan, keterangan para saksi yang dilihat dalam persidangan ada kekompakan. Sikap para saksi yang dihadirkan kuasa hukum sepertinya bertujuan menggeser pasal yang didakwakan kepada Pelaku FS dkk dari Pasal 340 KUHP ke pasal yang meringankan.
Menurut analisa lanjut Ferry, Pasal 340 sudah tepat didakwakan kepada para terdakwa. Sekalipun Bharada E posisinya Justice Collaboration, tidak dapat menggeser posisinya dari jeratan pasal 340. Status JC itu hanyalah upaya untuk meringankan hukuman, bukan untuk lepas dari peristiwa sesungguhnya.
Hal ini dapat dilihat dari kesaksian kesaksian yang disampaikan, cukup jelas bahwa Bharada E adalah Eksecutor penembak Yosua. Sebenarnya lanjut Ferry, pada situasi kejadian, jika Bharada E berniat melakukan sesuatu untuk mencegah peristiwa itu terjadi, atau menembak sebatas melumpuhkan, kemudian kabur melarikan diri, masih ada kesempatan. Tetapi hal itu tidak dilakukan. Oleh sebab itu, meskipun Bharada E sebagai JC, hukum tidak dapat membebaskannya dari pasal 340 KUHP.
Menurut Ferry, Majelis Hakim dalam kapasitasnya sebagai Pejabat Negara dan diberi kewenangan mengumumkan didepan publik apa yang menjadi keyakinannya, jangan sampai terbawa arus kesaksian-kesaksian yang nampaknya sengaja dibangun para terdakwa. Karena keterangan keterangan sejumlah saksi ditengah persidangan membuat perkara ini seakan rumit untuk mencari motif yang sesungguhnya dan mempersulit membuktikan peristiwa yang terjadi.
Konstruksi dakwaan yang disusun oleh Jaksa Penuntut Umum ujar Ferry Lumban Gaol, terlihat lebih sederhana karena disana sudah ada Pelakunya, jelas peristiwanya dan jelas unsur Perencanaannya, serta jelas Korbannya dan jelas pula para terdakwa pembantu actor pelaku Pembunuhan Berencana tersebut.
Keterangan sejumlah saksi di persidangan menurut Ferry ada indikasi yang sangat mendiskreditkan korban yang sudah meninggal dunia. Sebenarnya Majelis Hakim tidak perlu lagi memberikan ruang kepada saksi yang menyampaikan keterangan seenak fikirannya yang sifatnya memojokkan almarhum Brigadir Yosua, atau Korban yang sudah meninggal.
Ferry mengatakan, Majelis Hakim jangan melakukan pembiaran kepada Kuasa Hukum Terdakwa FS dkk untuk membangun narasi melalui pertanyaan pertanyaan yang sangat tidak etis terhadap korban yang sudah meninggal dunia. Para Kuasa Hukum ini harus mendapat teguran dari Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut.
Bila Korban masih bisa memberikan kesaksian untuk menjawab apa-apa yang disampaikan para saksi, silahkan Kuasa Hukum Terdakwa FS bertanya dan menggali apa yg berkaitan dengan peristiwa tersebut. Tetapi korban sudah almarhum, berarti kesaksian yang dinilai memojokkan korban itu harus dikesampingkan karena bersifat keterangan sepihak yang kebenarannya tidak dapat diyakini.
"Kami juga bertanya-tanya, apa tujuan memberikan waktu kepada para terdakwa untuk menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga. Situasi ini saya fikir belum waktunya dan dengan seenaknya secara kompak para terdakwa menyampaikan permintaan maaf kepada keluarga. Kami mengingatkan kepada Majelis, upaya-upaya seperti ini tidak pernah diatur dalam KUHAP. Biasanya, Majelis Hakim hanya menanyakan kepada para terdakwa apakah menyesali perbuatannya," tegas Ferry.
Menurut Ferry, Majelis Hakim seharusnya melakukan azas yang ada didalam Hukum Acara Pidana agar lebih aktif untuk menghentikan kelakuan para Kuasa Hukum Terdakwa FS yang menggali sisi lain kehidupan korban dengan upaya membentuk opini publik seakan menjadikan Korban Yosua Hutabarat pelaku pelecehan seksual yang penyidikannya telah dihentikan oleh Penyidik Polri.
Majelis Hakim ujar Ferry, seharusnya fokus pada kasus Pembunuhan Berencana untuk mengkonstatir peristiwa tersebut dengan cara;
- Memeriksa dan membuktikan Peristiwa tersebut dengan meletakkan alat bukti, apakah susah memenuhi syarat formal dan matril untuk membuktikan ada peristiwa tersebut
- Menentukan terbukti atau tidak dalil peristiwa yang dibawa ke majelis Hakim, karena pembuktianlah rohnya putusan hakim, bukan hukumnya.
Dengan demikian lanjut Ferry, Majelis Hakim dalam peristiwa ini tidak gampang terbawa pemikiran para Penasehat hukum ke peristiwa lain yang bertujuan Mengaburkan Pokok Perkara yang sedang didakwakan kepada terdakwa. Majelis dalam setiap persidangan harus menyusun rencana kerja persidangan dengan batasan - batasan apa yang akan diperiksa pada setiap persidangan, sehingga progress persidangan tidak mengaburkan rangkaian peristiwa dan akhirnya pemeriksaan satu sama lain tidak memenuhi azas causalitas.
Ferry mengatakan, pertanyaan pertanyaan yang disampaikan para penasehat hukum yang tidak berkaitan dengan peristiwa seharusnya dihentikan oleh Majelis hakim. Majelis Hakim harus konsisten dalam menkonstatir peristiwa pidana dan menetapkan peristiwa itu benar dan bukan mengada-ngada. Selanjutnya, majelis mengkualifisir peristiwa tersebut dengan menilai masing masing kejadian tersebut untuk mencari hubungan pasal demi pasal yang berkaitan dengan peristiwa yang terjadi.
Kemudian ujar Ferry, majelis Hakim meng-konstituir peristiwa tersebut dengan menetapkan pasal yang tepat maupun pasal yang meringankan maupun memberatkan. Atau sebaliknya, mengkonstituir pasal yang tepat, yang mungkin bisa berbeda dengan pasal yang didakwakan JPU.
"Bila Majelis Hakim kuat dan konsisten memegang tiga azas dalam persidangan, yakni: Konstatir, Kualifisir dan Konstituir, maka Majelis Hakim dapat dengan mudah menyelesaikan persidangan Pembunuhan Berencana Atas korban Brigadir Yosua. Apalagi semua sudah tersedia, Pelakunya ada, Barang Bukti ada, unsur Berencananya jelas," ujar Ferry mengakhiri. (MA)