Kegiatan Pengadaan Tanah untuk kepentingan umum diatur dalam UU No.2 tahun 2012
Warga Jatikarya, Kec. Jatisempurna Menanti Kewenangan MARI atas Putusan PK yang Sudah Inkracht |
Kota Bekasi, pospublik.co.id - Sebuah fenomena yang dapat merusak citra Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA-RI) dan lembaga peradilan dibawahnya, karena putusan PK ke-II No.815/PK/PDT/2018 yang telah inkracht tidak dapat dilaksanakan Pengadilan Negeri Kota Bekasi (Pengadilan Tingkat Pertama) akibat terhalang Surat Rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN yang tak kunjung diterbitkan Pejabat di Institusi pemerintah tersebut.
Putusan PK No.815/PK/PDT/2018 tertanggal 19 Desember 2019 tersebut adalah pemeriksaan sengketa tanah yang akan dibebaskan pemerintah, Cq. Kementerian PUPera untuk ruas Jln. Tol penghubung Cimanggis-Cibitung I Kab. Bekasi.
Sebelum perkara sengketa betul-betul inkracht, pihak pengelola, yakni: KemenPUPera dengan itikad baik telah menitipkan dana konsinyasi di kas Kepaniteraan Pengadilan Tingkat Pertama Kota Bekasi. Namun setelah PK ke-II dinyatakan inkracht (berkekuatan hukum tetap), atas permohonan eksekusi dari pihak yang dimenangkan (Ahli Waris Candu bin Godo, dkk), PN Kota Bekasi telah dua kali melayangkan surat Aanmaning kepada para pihak, termasuk ke BPN Kota Bekasi.
Dari 7 perkara perdata atas objek sengketa tersebut, ada dua putusan yang bertentangan, maka oleh salah satu pihak mengajukan PK ke-II dengan register perkara No.815/PK/PDT/2018, yang diputus pada tanggal 19 Desember 2019.
Atas Putusan PK ke-II itu, maka berakhir sudah semua sengketa kepemilikan atas lahan tersebut. Amar Putusan PK ke-II ini menyatakan, putusan PK (I) No.218/PK/Pdt/2008 dan putusan PK lainnya yang bertentangan dengan putusan PK ke-II gugur dengan sendirinya, dan putusan PK ke-II tersebut telah inkracht.
BeritaTerkait:
https://www.pospublik.co.id/2022/01/kenterian-atrbpn-diduga-keras.html
Dalam hal pengadaan tanah oleh pemerintah guna kepentingan umum, terjadi sengketa kepemilikan atas objek, maka untuk menghindari terjadinya pelanggaran HAM, dana ganti rugi (dana konsinyasi) wajib dititipkan Pemerintah ke Kas Kepaniteraan Pengadilan Negeri agar tidak menghambat jalannya roda pembangunan.
Kemudian, Dana konsinyasi tersebut akan dapat dieksekusi dengan menyerahkan kepada yang berhak berdasarkan hasil putusan sengketa lembaga peradilan yang sudah berkekuatan hukum tetap. Pencairan/eksekusi dilengkapi surat Rekomendasi dari ketua tim pengadaan tanah, yakni: Pejabat ATR/BPN.
Guna pelaksanaan eksekusi, Pengadilan Negeri telah pula dua kali melaksanakan Aanmaning kepada para pihak termasuk ke ATR/BPN. Sayangnya, BPN selaku Ketua Tim pembebasan lahan tersebut tidak berkenan menerbitkan surat Rekomendasi sebagai persiaratan eksekusi dana konsinyasi tersebut.
Menurut Warga, diwakili pengacaranya, alasan ATR/BPN tidak menerbitkan surat Rekom tersebut tidak jelas. Sikap KemenATR/BPN ini menjadi kontraproduktif dengan UUCK tentang percepatan iklim investasi. Selain itu, penguasaan lahan masyarakat itu oleh KemenPU Pera menjadi kesan perampasan, dan bertentangan dengan pasal 3 UU Nomor:2 tahun 2012, dan pasal 28 UUD 1945.
Putusan PK ke-II No. 815 PK/Pdt/2018 jo PK ke-I No.218 PK/Pdt/2008, Menyatakan warga masyarakat adalah pemilik sah atas lahan tersebut. Menghukum para tergugat atau siapa saja yang memperoleh hak daripadanya untuk membayar ganti rugi.
Dalam konteks objek perkara No.218 PK-II/pdt/2008, dengan penetapan konsinyasi No.04/Pdt.P.Cons/2016/PN Bks, pihak KemenPUPR adalah pihak lain yang telah menguasai sebagian tanah objek perkara seluas 4,2 ha untuk dibangun Jalan Tol, dan secara sukarela telah menitipkan uang ganti rugi (konsinyasi) di Kas Kepaniteraan PN Kota Bekasi (Peran KemenPUPera clear).
Sesuai prosedur, PN Bekasi telah menyerahkan surat teguran (Aanmaning) kepada para pihak, termasuk Kementerian ATR/BPN melalui penetapan Ketua PN No.20/EKS.G/2021/PN.BKS. bahkan sudah dua kali tenggat 2 tahun terakhir. Surat Anmaning ke Kementerian ATR/BPN sekaligus minta surat Rekomendasi untuk pencairan dana konsinyasi tersebut.
Namun entah mengapa, pihak Kementerian ATR/BPN tidak menghormati Putusan PK ke-II yang sudah berkekuatan hukum tersebut.
Sejak putusan PK ke-II ini berkekuatan hukum tetap, PN Kota Bekasi juga sudah 2 kali mendapat surat petunjuk pelaksanaan eksekusi/pencairan dana konsinyasi tersebut dari Pengadilan Tinggi (PT) Jawa Barat. Dua (2) pemimpin KPT silih berganti, rekomendasi serupa berbunyi sama, yakni: Dana konsinyasi tersebut dapat diserahkan kepada principal. Yang nota bene, sejak PK ke-II, persoalan seharusnya sudah clean & clear, masalahnya hanya Rekomendasi dari Kementerian ATR/BPN RI.
Untuk melaksanakan putusan memang menjadi kewenangan, dan tanggung jawab Ketua PNBekasi, namun kewenangan itu dibatasi Surat Rekom dari ATR/BPN. Maka Jika kewenangan itu tidak dijalankan akibat terhalang Surat Rekom KemenATR/BPN, apa dampaknya terhadap Institusi MARI dan lembaga peradilan dibawahnya.
Pengadilan Tinggi sebagai Kawal Depan MA sebenarnya sudah memberi perhatian terhadap persoalan eksekusi Putusan PK ke-II No. 815 PK/Pdt/2018 jo PK ke-I No.218 PK/Pdt/2008 tersebut. Namun butuh ketegasan mengakhiri tunggakan perkara ini. Atau, Badan Pengawas MARI harus turun mengurut benang merahnya dimana, sehingga tidak menimbulkan preseden buruk dalam penanganan perkara di lembaga peradilan.
Jika persoalan ini dibiarkan berlarut-larut, Peradilan akan dituding sebagai institusi yang ikut "Membiarkan pelanggaran HAM". Perintah condemnatoir yang sudah di anmaning tidak dituntaskan melalui upaya eksekusi sebagaimana petunjuk Pengadilan Tinggi menjadi barang rongsokan.
Dimana letak kepastian hukum jika PK II yang sudah Inkracht tidak dapat dieksekusi?
Untuk mendapat keadilan, warga masyarakat Jatikarya, Kota Bekasi meminta Ketua MA, Prof. Dr. Syarifudin, SH. MH, menggunakan segala kewenangannya untuk menyelesaikan persoalan ini. Memberi dukungan kepada Ketua PN Kota Bekasi untuk melaksanakan petunjuk pelaksanaan eksekusi dana konsinyasi yang disampaikan Ketua Pengadilan Tinggi Bandung tersebut.
Menarik Untuk Menjadi Perhatian:
Putusan PK pertama (I) oleh Dr. HARIPIN TUMPA, dan Prof. Dr. HATTA ALI, yang tidak lain adalah Ketua Mahkamah Agung dimasanya. Sementara PK ke-II diputus oleh ketua majelis, PROF DR. SYARIFUDDIN, SH. MH yang saat ini menjabat Ketua MARI.
Namun, putusan itu tidak punya taring bag macan ompong buat Kementerian ATR/BPN. Sehingga perlu ketegasan dari Ketua MARI, Prof. Dr. Syarifuddin dan Dr. Herri Swantoro agar memerintahkan jajaran dibawahnya menyelidiki siapa yang berperan di KemenATR/BPN yang dengan sengaja tidak menerbitkan Surat Rekomendasi tersebut. Lindungi masyarakat yang 'terzholimi' dari dugaan prilaku mafia tanah di Kementerian ATR/BPN. (MA)
Uraian Singkat Perjalanan Sengketa Lahan Warga Masyarakat Desa Jatikarya:
Bagan Perjalanan Perkara Hingga Terbit PK Ke-II |