|
Pertemuan Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo (kanan) dengan Jaksa Agung, ST Burhanuddin (kiri) untuk membahas peningkatan sinergitas dan soliditas kedua lembaga serta membahas seputar percepatan berkas perkara. Foto/Ist |
Bekasi, pospublik.co.id - Kejaksaan Negeri Kota Bekasi, oleh Tim penasehat hukum terdakwa Hasudungan Rumapea Alias Oskar (62) yang dijerat dengan dawaan ke-1 pasal 406 ayat (2) KUHP, atau dakwaan Ke-2 pasal 302 ayat (2) KUHP, Bina Impola Sitohang, SH. MH menyebut tidak mengindahkan Peraturan Jaksa Agung RI No.15 tahun 2020 tentang Restorative Justice. "Sisi Humanis Kejaksaan yang Mengedepankan Perdamaian".
Jaksa Penuntuntut Umum (JPU) Kejari Kota Bekasi dalam surat tuntutannya yang dibacakan dipersidangan, Kamis (9/12/2021) meminta majelis hakim PN Kota Bekasi agar menjatuhkan pidana selama 5 bulan penjara terhadap terdakwa Hasudungan Rumapea Alias Oskar (62) yang diduga memukul kucing menjadi penyebab matinya kucing tersebut.
Padahal ujar kuasa hukum terdakwa, Bina Impola Sitohang, antara pemilik kucing dengan kliennya sudah berdamai yang dituangkan diatas kertas bermaterai cukup yang isinya saling memaafkan dan tidak akan menuntut satu sama lain. Perdamian itu disaksikan Ketua RT dan Ketua RW setempat.
Menurut Bina Impola, Jika JPU ngotot ingin memenjarakan kliennya, JPU seharusnya lebih maksimal membuktikan tuntutannya dengan melakukan autopsi atau identifikasi forensik terhadap mayat kucing tersebut.
Karena menurutnya, tidak ada saksi fakta yang melihat kucing itu mati akibat dipukul terdakwa. Rekaman CCTV tersebut hanya petunjuk, bukan alat bukti penyebat kematian. Maka harus dibuktikan, apakah kucing itu mati akibat satu kali pukul menggunakan gagang sapu dari plastik atau ada penyebab lain.
Namun ujar Bina, JPU hanya berkeyakinan terhadap CCTV yang tidak memiliki nilai pembuktian. Kemudian menjadikan keterangan saksi-saksi yang hanya melihat dan menonton istagram nama "lalaqiyy" tanpa keseriusan membuktikan penyebab matinya kucing tersebut dengan melakukan autopsi atau identifikasi forensik. "Jangan-jangan sebelum dipukul sudah terlebih dahulu makan racun, kita tidak tau," ujar Bina.
Rekaman CCTV menurut Bina hanya petunjuk, bukan alat bukti. Berdasarkan rekaman CCTV, pemukulan itu terjadi Rabu (05/2/2020) sekitar pukul 09.30 Wib di Jln. Bojong Megah XI Blok F-37 No. 09, RT. 07/RW.017 Kel. Bojong Rawalumbu, Kec. Rawalumbu, Kota Bekasi. Namun bagaimana jaksa memastikan matinya kucing tersebut akibat dipukul, masih perlu pembuktian.
Uraian tuntutan JPU, melalui rekaman CCTV, terdakwa yang merupakan tetangga pemilik kucing terlihat melakukan pemukulan satu kali terhadap kucing warna hitam yang diberi nama blacky menggunakan gagang sapu dari paralon sehingga kucing menggelepar dan mati.
Kemudian, rekaman CCTV tersebut oleh sipemilik kucing, Iwan Setiawan disimpan ke komputer tanggal 06 Februari 2020. Peristiwa itu pun diceritakan kepada Khaula Nuriski Setiawan yang sedang sakit dirawat di RS Rawa Lumbu.
Tanggal 13 Februari 2020, oleh Khaula Nuriski Setiawan rekaman CCTV tersebut dijadikan status di istagramnya bernama "lalaqiyy". Tanggal 15 Februari 2020, followers pengikut istagram "lalaqiyy" itu sudah ramai.
Tanggal 17 Februari 2020 sekitar pukul 14.30 Wib, rumah Iwan Setiawan (pemilik kucing-Red) kedatangan tamu yang mengatas namakan komunitas pecinta kucing dan bertemu Khaula Nuriski Setiawan sekedar konfirmasi isi istagram "lalaqiyy".
Tanpa diketahui atau persetujuan pemilik kucing blacky yang mati itu, atas nama komunitas pecinta kucing, saksi Doni Herdaru Tona pun melaporkan kejadian itu ke Polrestro Bekasi Kota.
Atas pemukulan yang menurut JPU penyebab matinya kucing tersebut, Iwan Setiawan (62) dan istrinya, Tutik Ermiyati (62) bersama putranya, Khaulah Nur Risqiyah (15) selaku pemilik kucing blacky dengan Hasudungan Rumapea Alias Oskar telah saling memaafkan dan membuat kesepakatan damai diatas kertas materai cukup yang disaksikan Ketua RT dan Ketua RW, Senin (17/2/2020) untuk tidak saling menuntut dikemudian hari.
Namun oleh JPU dari Kejari Kota Bekasi, Omar Syarif Hidayat, SH, mengaku setelah meneliti secara cermat dan obyektif alat bukti berupa keterangan pelapor Doni Herdaru Tona selaku Ketua komunitas pecinta kucing, saksi Iwan Setiawan, saksi Khaula Nur Risqiyah, saksi Beby Ryan Safitri dengan alat bukti berupa flasdisk berisi rekaman CCTV dan gagang sapu berikut keterangan terdakwa yang saling bersesuaian, menjadi petunjuk bahwa terdakwa melakukan pemukulan satu kali terhadap kucing warna hitan bernama blacky milik saksi Iwan Setiawan sehingga mati.
|
Jaksa Agung RI, ST Burhanudin |
Namun menurut Kuasa Hukum terdakwa, Bina Impola Sitohang SH.MH, perdamaian antara pemilik kucing dengan pelaku yang disaksikan Ketua RT dan Ketua RW tersebut oleh penyidik Polri dan Kejaksaan Negeri Kota Bekasi tidak memandang sebagai restorative justice sebagaimana Peraturan Kapolri (Perkapolri) Nomor 08 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif, "Tercatat dalam Berita Negara Republik Indonesia tahun 2021 Nomor 947". Begitu juga Peraturan Jaksa Agung (Perjag) RI No.15 tahun 2020 tentang Restorative Justice. Sisi Humanis Kejaksaan yang Mengedepankan Perdamaian. |
Kapolri, Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo |
Dengan segala keyakinannya, Kejaksaan Negeri Kota Bekasi akhirnya menuntut terdakwa Hasudungan Rumapea alias Oskar yang dijerat pada dawaan ke-1 pasal 406 ayat (2) KUHP, atau dakwaan Ke-2 pasal 302 ayat (2) KUHP agar majelis hakim PN Kota Bekasi menjatuhkan hukuman 5 bulan penjara, dikurangi selama terdakwa dalam tahanan dengan perintah terdakwa tetap ditahan.
JPU Ditegur Majelis Hakim
Terhadap bunyi tuntutan yang dibacakan JPU pada sidang terbuka untuk umum agar majelis hakim "Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa selama 5 bulan penjara dikurangi selama terdakwa berada dalam tahanan dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan" oleh Ketua majelis hakim, Beslin Sihombing, SH. MH yang juga Humas PN Bekasi, sempat menegur JPU Omar Syarif Hidayat, SH.
Kalimat "dikurangi selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan", menurut majelis hakim jelas keliru karena terdakwa tidak pernah ditahan dan hingga tuntutan dibacakan, terdakwa tidak ditahan.
Usai persidangan, pengacara terdakwa, Bina Impola Sitohang, SH.MH tampak kecewa atas tuntutan JPU yang Dia nilai tidak profesional. Alasan pertama ujar Bina, JPU mengatakan dikurangkan selama terdakwa dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan, padahal kliennya tidak pernah ditahan.
Kemudian ujar Bina, JPU tidak mengindahkan Peraturan Jaksa Agung (Perjag) No.15 tahun 2020 tentang restorative justice, sehingga tidak mempertimbangkan perdamaian antara pemilik kucing dengan terdakwa yang dilakukan dihadapan Ketua RT dan Ketua RW.
Selain tidak mengindahkan Peraturan Jaksa Agung tentang restorative justice tersebut ujar Bina Impola Sitohang, Jika JPU ngotot ingin memenjarakan kliennya, JPU seharusnya lebih maksimal membuktikan tuntutannya dengan melakukan autopsi atau identifikasi forensik terhadap mayat kucing tersebut.
Karena menurutnya, tidak ada saksi fakta yang melihat kucing itu mati akibat dipukul terdakwa. Rekaman CCTV tersebut hanya petunjuk, bukan alat bukti penyebat kematian. Maka harus dibuktikan, apakah kucing itu mati akibat satu kali pukul menggunakan gagang sapu dari plastik atau ada penyebab lain.
"Jangan-jangan kucing itu mati karena makan racun sebelum dipukul. Apalagi kucing terkenal 9 nyawa, artinya dengan sekali pukul dengan gagang sapu yang terbuat dari paralon, kucing tersebut mati, cukup mengherankan," ujar Bina Impola Sitohang. (MA)