Raja Tahan Panjaitan, SH (jas hitam) |
Bekasi, pospublik.co.id – Setelah kurang lebih 19 tahun mengarungi biduk rumah tangga sejak diberkati Pastor Johanes Simamora, OFMCap di Gereja Katolik St. Laurentius Brindisi, Pematang Siantar, Sumatera Utara, tanggal 16 Juli 2002 sebagaimana tercatat dalam Akta Perkawinan Nomor:327-WK-21102014-0025 tanggal 21 Oktober 2014 oleh Dinas Kependudukan dan Catatan Spil Kota Bekasi, pasangan suami istri (Pasutri) JS dan E, Br. Tbn berujung gugatan cerai di Pengadilan Negeri (PN) Kota Bekasi.
Namun, gugatan cerai yang diajukan sang suami (JS), oleh majelis hakim yang diketuai, Ranto Indra Karta Pasaribu, dibantu hakim anggota, Rahman Rajagukguk dan Abdul Rofiq yang memeriksa dan mengadili perkara Nomor:564/Pdt.G/2020/PN.Bks ini, menolak gugatan penggugat dengan pertimbangan “Gugatan Penggugat Prematur Karena Diajukan Sebelum Melalui Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu”.
Atas pertimbangan majelis hakim yang dibacakan Kamis (4/11/2021) tersebut, penggugat melalui kuasa hukumnya, Raja Tahan Panjaitan, SH dan R Wijaya S, SH, dari Law Office Raja Tahan Panjaitan, SH & Partners, beralamat di Jln. Paus Kav.BI No.90 Rawamangun, Kec. Pulogadung, Jakarta Timur, menganggap pertimbangan majelis hakim tersebut ngaur dan tidak memiliki dasar hukum.
Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2021/11/raja-tahan-panjaitan-sh-penemuan-hukum.html
Menurut Raja, putusan majelis hakim PN Kota Bekasi tersebut sangat keliru dan tidak memiliki payung hukum. Pertimbangan majelis hakim yang menyebut gugatan prematur karena diajukan sebelum melalui lembaga adat Batak Dalihan Natolu sangat bertentangan dengan UU Nomor.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Raja Tahan mengaku sangat kecewa terhadap pertimbangan majelis hakim karena mendalilkan Lembaga Adat Batak Dalihan Natolu dalam putusannya. Majelis hakim telah mengarahkan hukum nasional, yakni: UU Nomor.1 tahun 1974 pasal 39 ayat (2), dan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor.9 tahun 1975 pasal 19 huruf (f) tentang perkawinan menjadi “RASIS”.
Jika putusan ini menjadi yurisprudensi ujar Raja, maka suku Batak penganud agama Kristen yang mengharapkan kepastian hukum tentang perceraian lewat Pengadilan Negeri, tidak akan pernah terwakili oleh pemerintah. Sehingga, orang Batak akan menjadi suku termajinalkan, karena jangan diharap hukum adat akan merekomendasikan perceraian dengan alasan apapun. Oleh sebab itu, pemerintah hadir melalui UU Nomor.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Namun oleh majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara perceraian nomor: 564/Pdt.G/2020/PN.Bks ini lanjut Raja Tahan, justru mengesampingkan UU tersebut, dan mendalilkan Lembaga Adat sebagai rujukan untuk mengajukan gugatan perceraian di PN.
Sementara fakta-fakta yang terungkap dipersidangan lanjut Raja Tahan, nyaris seluruhnya dikesampingkan majelis hakim. Tergugat sama sekali tidak menunjukkan itikat baik terhadap mertuanya yang jauh-jauh datang dari Pekanbaru RIAU sebagai saksi. Begitu juga terhadap paman penggugat yang juga hadir sebagai saksi dari Pekanbaru RIAU sama sekali tidak dihargai.
Majelis hakim ujar Raja, tidak mempertimbangkan sikap tergugat yang sama sekali tidak menunjukan rasa hormat kepada mertuanya (ibu kandung penggugat) dan kepada paman penggugat selama dipersidangan. Kesempatan yang diberikan hakim kepada tergugat untuk bertanya kepada saksi, tergugat bertanya, apakah mertuanya pernah selingkuh.
“Apakah kamu pernah selingkuh” pertanyaan tergugat dipersidangan kepada mertuanya. Pertanyaan itu pun ditegur majelis hakim karena dianggap tidak pantas dan diluar konteks perkara. “Setidaknya sikap tergugat seperti ini menjadi penilaian bagi majelis hakim, ternyata yang menjadi pertimbangan justru RASIS,” ujar Raja.
Majelis hakim menyebut gugatan premature karena diajukan sebelum melalui lembaga adat ujar Raja lebih lanjut, dasar hukumnya apa, semestinya dalam pertimbangan itu dijelaskan, apakah UU atau Surat Edaran (SE), atau PERMA, atau Peraturan Ketua PN. Kalau UU atau SE atau PERMA, dan atau Peraturan KaPN. Nomor berapa, tahun berapa, ayat berapa, seharusnya dituangkan dalam putusan supaya putusan itu tidak menyesatkan.
Menurut Raja Tahan Panjaitan, sepanjang hidupnya belum pernah mendengar ada Lembaga Adat Batak. Dalihan Natolu memang dikenal bagi orang Batak untuk memposisikan kapasitas masing-masing undangan, tetapi bukan merupakan Lembaga Adat Batak. Dalam bahasa Batak “Dalihan Natolu” didefinisikan Tunggu Berkaki Tiga sebagai simbol keseimbangan sosial yang dilestarikan turun temurun menjadi budaya atau adat.
Oleh karena pertimbangan majelis hakim dalam perkara ini dinilai menyesatkan ujar Raja, mewakili kliennya, dia akan melakukan upaya hukum banding, sekaligus melaporkan perkara tersebut ke MARI agar dieksaminasi. Jika ternyata ditemukan pelanggaran etik hakim, agar supaya dijatuhkan sanksi sesuai UU yang berlaku. (MA)