Raja Tahan Panjaitan, SH |
Kota Bekasi, pospublik.co.id - Raja Tahan Panjaitan, SH. MH selaku kuasa hukum penggugat JS menilai putusan majelis hakim PN Kota Bekasi yang diketuai Ranto Indra Karta, dibantu hakim anggota, Rahman Rajagukguk, dan Abdul Rofiq, sangat keliru dan tidak masuk akal. Pertimbangan majelis hakim yang menyebut gugatan penggugat prematur karena diajukan sebelum melalui lembaga adat Batak Dalihan Natolu sangat bertentangan dengan UU Nomor.1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Terhadap pertimbangan majelis hakim dalam perkara nomor:564/Pdt.G/2020/PN.Bks yang dibacakan Kamis (4/11/2021) tersebut, Raja Tahan Panjaitan, SH. MH selaku kuasa hukum penggugat mengaku sangat kecewa karena majelis hakim menjadikan Lembaga Adat Dalihan Natolu sebagai rujukan untuk mengajukan perceraian di Pengadilan Negeri.
Raja Tahan Panjaitan mengatakan, pertimbangan majelis hakim yang menyebut, terbitnya perkara perceraian ke Pengadilan karena tidak terpenuhinya tujuan perkawinan sebagaimana pasal 30 UU No. 1 tahun 74 tentang perkawinan, sudah sangat tepat. Namun ketika majelis hakim mengatakan gugatan prematur karena sesuai adat Batak, gugatan belum melalui lembaga adat Dalihan Natolu, dia pun kaget karena belum pernah mendengar ada Lembaga Adat Batak yang menjadi rujukan dalam perkara perceraian di PN.
“Menurut majelis hakim, gugatan prematur karena diajukan sebelum melalui lembaga adat, apa dasar hukumnya, mestinya dalam pertimbangan itu dijelaskan. Apakah UU atau Surat Edaran (SE) atau PERMA, atau Peraturan Ketua PN. Kalau UU atau SE atau PERMA, dan atau Peraturan KaPN, nomor berapa, tahun berapa, ayat berapa, semestinya dituangkan dalam putusan supaya putusan itu tidak menyesatkan,” ujar Raja Tahan.
Menurut Raja Tahan Panjaitan, sepanjang hidupnya belum pernah mendengar ada Lembaga Adat Batak. Dalihan Natolu memang dikenal bagi orang Batak untuk memposisikan hak dan kewajiban masing-masing para undangan dalam acara adat, tetapi bukan merupakan Lembaga Adat Batak. Dalam bahasa Batak “Dalihan Natolu” didefinisikan Tunggu Berkaki Tiga sebagai simbol penerapan sosial yang dilestarikan turun temurun menjadi budaya atau adat.
Sehingga lanjut Raja Tahan, dalam gugatan ini, pertimbangan majelis hakim sangat keliru dan mengada-ngada. Pasalnya, Lembaga Adat Batak yang dimaksud majelis hakim sampai saat ini tidak jelas dimana dan sifatnya seperti apa. Sehingga ujar Raja, putusan majelis hakim seolah-olah melegalisasi Lembaga Adat Batak lebih tinggi dari UU nomor; 1 tahun 1974 tentang perkawinan.
Dalam perkara gugatan lanjut Raja, mediasi selalu didahulukan. Ketika mediasi gagal, baru kemudian dilanjutkan pemeriksaan pokok perkara. Artinya dalam perkara ini ujar Raja, ketika mediasi gagal, maka dapat disimpulkan, tujuan pernikahan itu sudah tidak dapat dicapai, namun demikian perlu dilanjutkan pemeriksaan perkara pokok sebagai mana ketentuan UU.
“Sejak kapan Hukum Nasional atau UU tunduk terhadap hukum adat, apakah ini penemuan hukum baru, atau justru kemunduran penerapan hukum, atau ketidak mampuan Majelis Hakim dalam menerapkan UU,” kecam Raja Tahan.
Terungkap dipersidangan lanjut Raja Tahan, pernikahan pengguat JS dengan tergugat ET belum melalui prosesi Adat. Peristiwa seperti ini dapat ditemukan pada suku Batak, pemberkatan secara gereja didahulukan, kemudian dicatatkan secara administrasi Negara. Lalu mengapa majelis hakim membawa-bawa Lembaga Adat. Oleh sebab itu ujar Raja Tahan, pertimbangan Majelis Hakim yang menyatakan gugatan prematur karena tidak melalui lembaga adat sangatlah keliru dan merupakan penistaan terhadap UU.
“Bagaimana mungkin diajukan melalui lembaga adat Batak Dalihan Natolu sementara perkawinan penggugat JS dengan tergugat ET belum melalui prosesi adat. Yang saya tau, budaya/adat Batak menganut prinsip, seseorang yang telah menikah tetapi belum melaksanakan acara adat/membayar adat, dia tidak dapat menuntut hak adat, atau sebaliknya, tidak diwajibkan mengikuti acara adat. Oleh sebab itu, pertimbangan majelis sangatlah keliru,” ujar Raja Tahan Panjaitan.
Menurut Raja Tahan, terlepas dari pertimbangan majelis hakim yang menyebut tergugat sudah minta maaf di persidangan, anak hasil pernikahan penggugat dan tergugat berinisial EJ. S, (18 thn) keberatan atas perceraian karena khawatir tidak akan mendapat perhatian dari kedua orangtuanya, yang sangat keliru dalam putusan itu adalah kalimat yang menyebut gugatan prematur karena gugatan belum melalui lembaga adat Dalihan Natolu.
“Dimana Lembaga adat yang dimaksud majelis hakim, dan apa dasar hukumnya gugatan perceraian harus melalui lembaga adat. Putusan ini dapat dikatakan menyesatkan bagi para pencari keadilan di Pengadilan, khususnya gugatan perceraian,” ujar Raja mengaku prihatin terhadap pertimbangan majelis hakim tersebut. (MA)