Dugaan Korupsi yang Diatur Pada UU Nomor:31 tahun 1999 yang Telah Dirobah dengan UU Nomor:20 tahun 2001 Belum Diungkap Aparat Penegak Hukum |
Bapenda Kota Bekasi |
Kota Bekasi, pospublik.co.id – Terdakwa Laksana Setiawan, S membenarkan Rekeningnya di BCA mendapat aliran dana sebesar Rp.4,8 miliar dari Rekening Notaris Rita Sari Dewi di BJB. Pengakuan itu disampaikan Laksana ketika dirinya diperiksa sebagai Saksi dalam perkara No. 474/Pid.B/2021/PN. Bks, atas nama terdakwa, Notaris, Rita Sari Dewi Latanna SH.M.Kn, Selasa (7/9/2021) dalam sidang terbuka untuk umum menjawab pertanyaan Jaksa Penuntut Umum (JPU).
Dipersidangan yang dipandu Ketua Majelis Hakim, Syofia Marlianti Tambunan, SH. MH, terdakwa Laksana menyebut, aliran dana yang ditransper terdakwa Rita Sari Dewi Latanna dari Bank Jabar Banten (BJB) ke Rekening pribadinya di Bank Central Asia (BCA) tersebut digunakan untuk memperlancar validasi di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda) Kota BekasiBekasi, dan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Bekasi.
Dalam kesaksiannya, Laksana Setiawan menyebut dana itu adalah biaya entertain di Badan Pendapatan Daerah (Bapenda). Nilainya tidak tanggung-tanggung, sejak tahun 2018 hingga tahun 2020, biaya entertain di Bapenda sudah sebesar Rp.3 Miliar, dan di BPN kisaran Rp.1 miliar lebih.
Menurut Laksana Setiawan, uang tersebut diserahkan melalui Elia Ray MG dan Argita Mega Listya Putri untuk memperlancar validasi bukti setoran Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB).
Laksana Setiawan menyebut, yang mengarahkan dirinya ke Elia Ray MG di Bapenda Kota Bekasi adalah PPAT (Terdakwa Rita Sari Dewi Latanna, SH. M.Kn) yang ternyata belakangan diketahui, Elia Ray MG adalah adik kandung terdakwa Rita Sari Dewi.
Setiap urusan validasi, Laksana menyebut selalu berhubungan dengan Elia Ray MG dan Argita Mega Listya Putri. Dan biaya Intertein/pelicin sejak tahun 2018-2020 sudah mencapai Rp.3 Miliar.
"Coba yang tegas, yang dimaksud biaya entertain itu resmi atau tidak, atau hanya uang pelicin," tanya hakim. Dijawab terdakwa, biaya itu tidak resmi, hanya uang pelicin mempercepat validasi.
Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2021/09/isu-majelis-hakim-dapat-rumah-dan-uang.html
Mendengar biaya intertein yang sangat fantastis tersebut, majelis terlihat geleng-geleng kepala. Ketika keterangan Laksana itu dikonprontir majelis hakim kepada terdakwa Rita Sari Dewi, Terdakwa Rita hanya membantah disebut mengarahkan saksi untuk menghubungi Elia Ray MG.
"Saya tidak pernah mengarahkan saksi untuk menemui seseorang di Bapenda yang mulia, dan saya tidak pernah mengurusi validasi," kilah Rita.
Terhadap pernyataan terdakwa Rita Sari Dewi tersebut, majelis kembali mengkomprontir kepada saksi Laksana, oleh saksi Laksana Setiawan menyatakan tetap dalam keterangannya. Oleh majelis hakim kepada terdakwa Rita Sari menyebut, keberatannya akan dicatat, tetapi jika diketahui berbohong, bisa menjadi pertimbangan memberatkan.
Diberitakan sebelumnya, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Kota Bekasi, Ni Made Wardani, SH, menjerat terdakwa Rita Sari Dewi Latanna, SH. M.Kn dengan pasal alternatif, yakni: Primair Pasal 374 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana, dan subsidaer Pasal 372 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
Atas tindak pidana ini, Rekening terdakwa Rita Sari Dewi Latanna di Bank Jabar Banten (BJB) pun diblokir. Namun, karena bukti surat pemblokiran tidak tercantum dalam berkas perkara, menjadi pertanyaan buat Majelis Hakim atas keberadaan bukti surat yang didalamnya katanya salso terakhir hanya sekitar Rp.2.266 Miliar.
Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2021/09/majelis-hakim-pertanyakan-bukti-surat.html
Ketika majelis hakim menanyakan Bukti surat tersebut kepada Jaksa PU, JPU Ni Made Wardani tampak salah tingkah dengan membolak balik berkas dihadapannya. Hal ini pun menjadi bisik-bisik di ruang sidang, karena sangat aneh dan janggal bukti surat bisa tidak ada dalam berkas.
“Jaksa kayak main-main kerjanya. Sebelum P21 tahap dua, ada kesempatan Kejaksaan meneliti berkas, apakah sudah lengkap atau masih ada yang harus dilengkapi penyidik. Jaksa punya kewenangan mengembalikan berkas jika dianggap belum lengkap. Perkara ini P21 tahap dua, tetapi bukti surat bisa tidak ada diberkas, aneh bin ajaib,” bisik pengunjung didalam ruang sidang seraya menuding kinerja oknum Jaksa tidak becus.
“Bukan kami yang memblokir ya, jadi kami perlu tau dan lihat itu bukti surat pemblokiran. Diberkas dikatan diblokir, buktinya mana, itu yang perlu kami tau,” tegur majelis hakim.
Dalam surat dakwaan, terdakwa Rita Sari Dewi Latanna, SH. M.Kn dijerat pasal alternatif, yakni: Primair Pasal 374 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana, dan subsidaer Pasal 372 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
Menurut Jaksa, terdakwa (Notaris Rita Sari Dewi Latanna, SH. M.Kn) bersama sama dengan Laksana Setiawan Sitompul (perkara spilit) dan Mantri Adietia (Perkara split) melakukan penggelapan uang yang seharusnya disetorkan ke Kas Negara atas Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) unit Ruko dan Rumah yang telah diperjual belikan kepada ribuan konsumen.
Akibat perbuatan para terdakwa, menurut JPU, konsumen PT. Cipta Sedayu Indah dan Perusahaan menderita kerugian sekitar Rp.27,272 Miliar.
Dalam dakwaan Jaksa, sesuai Standart Operasional Prosedur (SOP) yang diatur Pemerintah, penyetoran BPHTB adalah sistem self assessment. Wajib Pajak menghitung, memperhitungkan, membayar sendiri, dan melaporkan pajak yang terhutang sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Sehingga, penentuan besarnya pajak yang terutang dipercayakan kepada Wajib Pajak sendiri melalui dokumen Surat Pemberitahuan (SPT) yang disampai. Baik secara langsung, online, pos, maupun melalui ASP.
Konsumen/pembeli unit rumah/ruko meminta PPAT mengimput data BPHTB melalui aplikasi e-BPHTB (data pembeli, penjual dan data objek pajak). Konsumen akan mendapat kode booking dari PPAT yang ditunjuk depeloper. Kode booking kemudian diserahkan ke teller Bank, dan selanjutnya pihak Bank mengimput kode booking tersebut dan konsumen/pembeli rumah/ruko membayar BPHTB melalui Bank. Kemudian, bukti setor tersebut divalidasi ke Dinas Pendapatan Daerah Kota Bekasi
Konon, dengan embel-embel memudahkan konsumen membayar BPHTB, PT. CSI menyuruh para konsumen untuk mentransper biaya BPHTB tersebut ke Rekening Nomor:002540107102 atas nama terdakwa Rita Sari Dewi Latanna di Bank Jabar Banten (BJB) Cabang Juanda Kota Bekasi yang ditunjuk PT. CSI menerima titipan pembayaran BPHTB dari para konsumen.
Konsumen yang terperdaya dengan janji muluk itu kemudian menyetor BPHTB tersebut dengan cara mentransper ke Rek PPAT Rita Sari Dewi Latanna SH. M.Kn di BJB sesuai kesepakatan dengan perusahaan/pengembang.
Seharusnya, setelah menerima dana dari konsumen, terdakwa segera menyesuaikan dengan sertifikat, lalu menyetorkan BPHTB atas nama konsumen ke Kas Negara untuk selanjutnya dibuatkan AJB.
Kemudian, konsumen diundang untuk penandatanganan AJB di Kantor Notaris (terdakwa). Minuta AJB dibawa ke kantor PT. CSI agar ditanda-tangani kuasa Direksi. Ternyata, apa yang terjadi, uang raib, penandatangan AJB hanya mimpi.
November 2020, perbuatan terdakwa Rita Sari Dewi Latanna bersama-sama dengan Laksana Setiawan Sitompul dan Mantri Adietia diketahui oleh saksi Rina Sari saat melakukan pengecekan data. Rina Sari menemukan data kurun waktu 2017-2020 sedikitnya 889 konsumen PT. CSI yang sudah melakukan pembayaran BPHTB melalui rek terdakwa Rita, dengan total Rp.52, 516 Miliar.
Dari jumlah 889 rruko/rumah tersebut, hanya 506 rumah/ruko yang disetor BPHTBnya ke Kas Daerah (Rp.13 Miliar) oleh terdakwa Rita. Angka itu pun terdapat lebih bayar konsumen sebesar Rp.7, 025 Miliar masuk ke Rek terdakwa.
Sementara 383 konsumen PT. CSI yang telah menyetor BPHTB melalui PPAT (terdakwa Rita), belum menandatangani AJB, dan 298 unit belum disetorkan konsumen BPHTBnya. 85 konsumen yang sudah membayar BPHTB tidak teridentifikasi unitnya dan belum disetorkan BPHTBnya oleh terdakwa Rita. Sehingga, total BPHTB yang dititip konsumen melalui terdakwa Rita diperkirakan raib sekitar Rp.29,485 Miliar.
Dipersidangan terungkap, konsumen sudah membayar lunas, tetapi terdakwa Rita hanya menyetor sebahagian, sebahagian lagi digunakan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, kelompok atau korporasi. Diantara 383 konsumen, Andreas mengaku sudah stor ke Rek PPAT Rp.60 juta, Antoni Rp.60 juta, Heru Rp.60 juta, dan Jenio Rp. 60 juta, masing-masing adalah Konsumen PT. CSI (PT. Cipta Sedayu Indah).
Menurut saksi dari managemen PT. CSI, kurun waktu tahun 2020, para konsumen datang ke perusahaan menanyakan kapan penandatanganan AJB. Dikonfirmasi kepada terdakwa Rita Sari Dewi, dia beralasan belum cek Sertifikat di BPN dan berjanji akan segera menyelesaikan. Namun hingga perkara ini dilaporkan ke KePolisian 26 November 2020, hak Konsumen tidak kunjung dilaksanakan terdakwa.
Atas tindak pidana yang terindikasi bermuatan korupsi ini, penyidik menyeret 3 orang terdakwa, yakni: Laksana Setiawan S dan Mantri Adetiea selaku karyawan PT. CSI, dan Notaris Rita Sari Dewi Latanna, SH. M.Kn.
Masing-masing terdakwa dijerat pasal alternatif, yakni: Primair Pasal 374 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana, dan subsidaer Pasal 372 KUH Pidana, Jo Pasal 55 ayat (1) Ke-1 KUHP, Jo Pasal 64 ayat (1) Ke-1 KUH Pidana.
Kini ke-3 perkara splitshing ini telah memasuki tahap pembacaan putusan oleh majelis hakim yang diKetuai, Sofya Marlianti Tambunan, SH. MH. (Bersambung ) (MA)