DR. Sofyan A. Djalil, SH. MA. M.ALD MenteribATR/BPN RI (Foto/Ist) |
Humbahas, pospublik.co.id – Merasa haknya dirampas oleh petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Humbang Hasundutan, pemohon pendaftaran/pensertifikatan tanah, M. Aritonang berniat melapor ke Kementerian ATR/BPN RI, dan ke Inspektorat. Laporan menurut M. Aritonang akan ditembuskan ke Presiden RI, DPR-RI, Jaksa Agung RI, Kapolri, dan Kemendagri.
Menurut M. Aritonang, haknya untuk memperoleh pengesahan Hak Milik (Sertifikat) tanahnya dirampas oleh BPN Humbahas dengan mendalilkan syarat yang diduga keras melanggar hukum. Oknum petugas BPN Humbahas ditengarai kuat bekerjasama dengan calo agar dapat meraup keuntungan dari pemohon pendaftaran/pensertifikatan tanah.
Modus yang dilakukan oknum petugas Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kabupaten Humbang Hasundutan (Humbahas), Propinsi Sumatera Utara, diduga keras bertujuan menciptakan PUNGLI secara masif dan terstruktur. Dugaan itu diperkuat keterangan sumber, MA. Aritonang yang menyebut BPN sengaja mempersulit pendaftar dengan meciptakan persyaratan yang isinya melanggar hukum, yakni: mengisi formulir surat pernyataan setuju hasil ukur BPN seolah-olah telah dilakukan pengukuran, padahal faktanya belum dilakukan.
BPN menyuruh pemohon mengisi/menandatangani formulir yang menerangkan sebuah peristiwa seolah-olah sudah terjadi, padahal faktanya belum terjadi. Isi formulir tesebut berbunyi: Bahwa Setelah Diukur oleh Petugas Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan secara Kadasteral, maka terjadi perobahan, Panjang:……….M, Lebar:……..M, Luas:………M2, dengan perubahan tersebut, Saya menyatakan menerima (setuju) hasil pengukuran Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan secara sah dan Benar.
Kedua: Bahwa saya menyatakan, apabila dikemudian hari telah terbit sertifikat hak atas tanah tersebut, maka hal itu merupakan tanggung-jawab saya sepenuhnya, dan tidak melibatkan pihak Kantor Pertanahan Kabupaten Humbang Hasundutan.
Membaca dan memperhatikan isi formulir yang menerangkan sebuah peristiwa seolah-olah telah terjadi, padahal faktanya belum terjadi, pemohon MA. Aritonang memutuskan untuk menolak mengisi dan/atau menandatangani formulir tersebut.
Karena pemohon (MA. Aritonang) menolak mengisi formulir tersebut, petugas BPN Kab. Humbang Hasundutan pun menolak pendaftaran/pensertifikatan tanah miliknya.
Tidak berhasil obsi pertama, Petugas BPN kembali menawarkan obsi kedua yang lagi-lagi menurut sumber upaya pembodohan, yakni: terlebihdahulu katanya dilakukan pra ukur baru kemudian didaftarkan. Terhadap obsi ini, pemohon MA. Aritonang kembali menolak, karena menurut dia, sepanjang 27 tahun dirinya menggeluti profesi sebagai wartawan, belum pernah membaca, mengetahui ada peraturan atau UU Agraria sebagaimana opsi yang ditawarkan petugas BPN tersebut.
“Apa pun alasannya, petugas dalam melaksanakan tugasnya harus jelas payung hukumnya. Pra pengukuran itu berdasarkan apa, dan seperti apa Berita Acara (BA) hasil pra pengukuran tersebut. Jika berdasarkan surat perintah Kepala Kantor BPN Humbahas, lalu apa dasar hukum Sprintug (surat perintah tugas) Kepala Kantor BPN Humbahas kalau pendaftaran saja belum diterima,” ujar Aritonang.
Maka sangat masuk akal ujar MA. Aritonang, informasi yang menyebut oknum petugas BPN Humbahas bekerjasama dengan calo yang mengakibatkan membengkaknya biaya pendaftaran/pensertifikatan tanah di Kabupaten Humbang Hasundutan.
Informasi kata dia, untuk lahan pertanian yang luasnya dibawah 4.000 m2, biaya pengurusan sertifikat di BPN Humbang Hasundutan, bisa mencapai Rp.3,5 hingga Rp.4 juta per bidang. Mungkin karena keterbatasan wawasan atau waktu lanjut Aritonang, apa pun saran, masukan, atau obsi yang ditawarkan oknum petugas BPN selalu dirututi pemohon, karena jika mengurus sendiri, mereka (pemohon-Red) akan dibuat pusing tujuh keliling.
Ketika persoalan pendaftaran/pensertifikatan tanah ini diusung MA. Aritonang kedapur Redaksi media pospublik.co.id di Jln. Raya Pondok Hijau Permai No.7 Pengasinan, Rawalumbu, Kota Bekasi, untuk memenuhi ketentuan UU Pokok Pers No.40 tahun 1999, dan Kode Etik Pers, Dewan Redaksi sepakat untuk dilakukan konfirmasi ke BPN Kabupaten Humbang Hasundutan.
Jawaban surat konfirmasi dapat dibaca pada Edisi:
https://www.pospublik.co.id/2020/12/humbahas-pospublik.html
Namun, karena diantara 12 pertanyaan yang disampaikan dalam surat konfirmasi, lima (5) diantaranya tidak dijawab, yakni: butir 3, 5, 6, 9, dan 10. Misalnya, Butir (3), bagaimana status sertifikat tanah (SHM) di Humbahas yang diterbitkan BPN jika Surat Keterangan Ahli Warisnya menurut Camat tidak ditandatangani, apakah sertifikat/SHM tersebut cacathukum/ILEGAL/batal demi hukum.
Butir (5), apakah jika pemohon disuruh menandatangani surat pernyataan setuju atas hasil ukur BPN padahal belum diukur bukankah itu pelanggaran hukum, Butir (6), sejak kapan BPN menerapkan pra pengukuran, padahal permohonan belum teregistrasi oleh BPN.
Butir (9), sesuai UU Agraria, apakah sudah sesuai biaya pendaftaran tanah untuk lahan pertanian seluas 4.000 m2 kebawah di Humbahas menelan biaya Rp.3,5 - 4 juta, Butir (10), siapa yang paling bertanggung-jawab jika pemohon batal mendapat haknya karena BPN membuat persyaratan yang diduga keras melanggar hukum.
Konon, ketika pertanyaan yang belum mendapat jawaban tersebut kembali dikonfirmasi kepada Kepala Kantor BPN Humbahas, Jusen Faber Damanik, lagi-lagi tidak dijawab. Surat konfirmasi kedua No.021/RED-PP/Konf.2/XII/2020 tertanggal 23 Desember 2020, oleh Kepala Kantor BPN Humbahas, Jusen Faber Damanik melalui suratnya, Nomor:DIP.01.02/56.12.16/I/2021 tertanggal 8 Januari 2021 kembali hanya mengirimkan isi suratnya yang pertama.
Lima butir pertanyaan yang disampaikan pospublik.co.id, sama sekali tidak mendapat jawaban. Memperhatikan sikap Kepala Kantor Badan Pertanahan Nasional Humbang Hasundutan yang terkesan menyepelekan peristiwa tersebut, pemohon mengaku semakin kecewa dan akan segera melapor ke Kementerian ATR/BPN RI dan kepada Inspektorat.
Menurut pemohon M. Aritonang, BPN Humbahas telah merampas haknya sebagai warga negara Republik Indonesia untuk memperoleh pengesahan kepemilikan (Sertifikat tanahnya) dengan cara melakukan perbuatan melawan hukum (PMH). Agar permasalahan ini menjadi perhatian serius, laporan kata dia akan ditembuskan ke Presiden RI, KomnasHAM, DPR-RI, Jaksa Agung RI, Kemendagri, dan Kapolri. (Red)