Protokol New Normal Untuk Maskapai Dinilai Tumpang Tindih, Sehingga Merugikan Pengusaha Maskapai |
Gatot Raharjo menjelaskan, salah satu bentuk tatanan new normal yang dinilai tumpang tindih adalah antara mewajibkan tes swab Polymerase Chain reaction (PCR) untuk seluruh penumpang dan physical distancing selama di dalam pesawat.
Menurutnya, cukup salah satu diantara PCR dengan physical distancing tersebut yang diterapkan. Logikanya, jika seluruh penumpang yang hendak berangkat dinyatakan negatif covid-19 berdasarkan PCR, maka protokol kesehatan ekstrim seperti jaga jarak tempat duduk (physical distancing) tidak perlu lagi diterapkan. Maskapai cukup mewajibkan penumpang memakai masker.
Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2020/06/banyak-penumpang-tidak-disiplin-lion.html
Kalau memperhatikan protokol Asosiasi Angkutan Udara Internasional (IATA) ujar Gatot, maskapai tidak diharuskan memangkas hingga separoh dari kapasitas penumpang. Maskapai hanya diwajibkan memiliki protokol sigap penanganan penumpang bergejala infeksi covid-19 dan menjaga sterilisasi pesawat selama penerbangan.
Perlu juga disadari lanjut Gatot, pesawat saat ini telah dilengkapi dengan sistem penyaring canggih High-Efficiency Particle Filters (HEPA) yang menyaring dan menjaga sirkulasi udara di dalam kabin pesawat.
"Logikanya, sudah ada rapid tes atau swab tes untuk melindungi masyarakat/penumpang, mengapa di dalam pesawat masih diperlakukan lagi physical distancing, kan sudah disaring di darat. Ini yang memberatkan maskapai," ucapnya kepada wartawan, Kamis (4/6).
Disisi lain lanjut Gatot Raharjo, jika pemerintah beralasan menjaga kesehatan penumpang dan memutus mata rantai penyebaran virus corona (Covid-19), maka seharusnya pemerintah tak menentukan harga tertinggi tiket pesawat.
Pengamat maskapai ini mengatakan, jika pemerintah ingin memastikan keberlanjutan masa depan maskapai, maka kebijakan harga tiket harus dikembalikan kepada otoritas maskapai masing-masing selama pandemi virus corona belum berakhir.
Analiasa ujar dia, maskapai hanya dapat meraup untung jika tiket pesawat dinaikkan. Dengan asumsi kapasitas penumpang dipangkas setengahnya dan penumpang diwajibkan menyertakan surat negatif covid-19 lewat PCR.
"Maskapai bisa untung jika harga tiket juga naik. Umpamanya, dua kali lipat. Hanya saja harga tiket diatur dalam SE Dirjen. Kalau tarif tidak naik, sudah pasti berat, ada operasional cost yang jalan terus, penumpang juga dipangkas setengah," paparnya kepada wartawan.
Memang keputusan tersebut akan memberatkan kantong penumpang tuturnya. Untuk itulah, ia menyebut pemerintah seharusnya melibatkan maskapai dan lembaga konsumen (YLKI) dalam perumusan kebijakan protokol tatanan new normal baru. Bukan main buat peraturan sendiri.
"Airasia dan Sriwijaya itu sampai sekarang belum ada kabarnya. Sementara Sriwijaya punya 10 persen pangsa pasar. Kalau sampai berguguran, nanti selesai pandemi apa kita mau tidak memiliki maskapai lagi," ujarnya seraya bertanya. (SAT)