Gedung Pengadilan yang Menjadi Saksi Bisu Sidang Perkara Terdakwa Randi Septhian |
Membaca dan memperhatikan surat MITRA kami dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners kepada bekasitimes.id yang diForwarded kepada Redaksi pospublik18@gmail.com, pertama-tama perlu kami sampaikan rasa terimakasih dan apresiasi yang setinggi-tingginya kepada Kuasa Hukum terdakwa Randi Septhian dalam perkara No.64/Pid.B/2020/PN.Bks, dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners yang telah secara jernih melihat ketentuan yang diatur dalam UU RI No.40 tahun 1999 tentang Pers mengenai hak jawab.
Menurut MITRA kami dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners dalam suratnya yang berbunyi:
"Sesuai Undang-undang RI No.40 Tahun 1999 Tentang Perss Bab I Pasal 1 terkait butir 11 yang mengatur hak jawab, yang dijelaskan dalam ketentuan tersebut. Hak jawab adalah seseorang atau sekelompok orang untuk memberikan tanggapan atau sanggahan terhadap pemberitaan berupa fakta yang merugikan nama baiknya dan didalam ketentuan No.12 diatur pula terkait dengan hak koreksi yaitu hak setiap orang untuk mengkoreksi atau membetulkan kekeliruan informasi yang diberitakan oleh Pers, baik tentang dirinya maupun orang lain".
Kami sebagai insan per yang bekerja dalam naungan UU No.40 tahun 1999 tentang Pers tersebut sangat menyadari dan paham betul maksud dan tujuan MITRA kami T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners. Namun kami sedikit kebingungan memilih permintaan "MITRA", apakah hak jawab, atau sanggahan atau hak koreksi, sementara dalam subject surat yang diforwarded kepada kami tercantum: Menanggapi berita pada tanggal 07 Mei 2020.
Baca Berita Terkait:
https://www.pospublik.co.id/2020/05/vonis-tidak-memenuhi-23-dari-tuntutan.html
Setelah kami baca dan kami perhatikan, apa yang kami sampaikan dalam pemberitaan di pospublik.co.id edisi tanggal 7 Mei 2020 berjudul: Vonis Tidak Memenuhi 2/3 dari Tuntutan JPU Diduga "Modus" tersebut, dikaitkan dengan isi surat MITRA kami ke bekasitimes.id, nampaknya justeru berbanding terbalik. Sedikit pun menurut hemat kami tidak ada hak klien MITRA yang kami rugikan. Kemudian, kami tidak pernah mengatakan penangguhan/pengalihan penahanan itu tidak boleh, karena kami sadar hal itu adalah kewenangan majelis hakim.
Namun demikian, alasan objektif atau subjektifnya harus juga jelas, sehingga tidak ada pihak yang merasa dikorbankan rasa keadilannya. Dalam hal dilakukan pengalihan/penangguhan penahanan, MITRA kami pasti juga tau ada ketentuan hukum yang harus dipenuhi. Jadi kalau terkait perkara klien MITRA, kami yakin betul tidak ada yang dirugikan.
Maka apa yang kami soroti dalam pemberitaan itu adalah, alasan oknum hakim menangguhkan/mengalihkan penahanan yang kurang tepat, karena masih ada sper waktu 17 hari lagi baru habis masa penahanan sejak diterbitkan penetapan pengalihan tahanan tertanggal (08/04/2020) sampai (25/04/2020) sebagaimana disampaikan Ketua majelis hakim.
Kami menyoroti putusan hakim karena, pertama, jika benar sesuai apa yang MITRA sampaikan dalam suratnya, yang menyebut bahwa JPU dan hakim tidak mempertimbangkan fakta-fakta, berarti ada yang tidak beres dalam penanganan perkara aquo. Tetapi, jika menurut hakim perbuatan terdakwa terbukti sesuai Pasal 351 ayat (2), lalu mengapa vonis tersebut jomplang/jauh lebih rendah dari tuntutan JPU.
Barangkali hal-hal seperti ini sudah menjadi bagian dari pertanyaan buat wartawan hukum. Jadi sekali lagi kami sampaikan, menurut hemat kami, tak sedikitpun klien MITRA yang kami rugikan. Namun Jika MITRA dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners, berkeinginan menambahkan materi perkara atas perkara kliennya, pasti juga sangat kami hargai dan kami apresiasi.
MITRA dalam suratnya menyebut tuntutan JPU dan vonis Hakim justru telah memposisikan terdakwa pada posisi "TERZOLIMI" karena beberapa alasan:
Pertama: JPU dan Mejelis Hakim tidak mempertimbangkan dan tidak meletakkan secara adil tentang adanya keterangan dari 2 Ahli kedokteran yg saling kontradiktif terkait dengan sifat luka yang dialami korban, dan
Kedua: Hakim juga tidak mempertimbangkan tentang boleh tidaknya rekam medik yang diminta sendiri oleh pihak korban secara diam-diam tanpa surat permintaan dari penyidik kepolisian untuk sebagai alat bukti.
Maka dengan segala pertimbangan, Dewan Redaksi pospublik.co.id sepakat menulis tanggapan dari MITRA menjadi sebuah tofik berita. Apalagi menurut penasehat Hukum terdakwa Randi Septhian dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners dalam mengomentari pemberitaan bekasitimes.id yang diforwarded ke pospublik.co.id, ada dua fakta hukum yang tidak dipertimbangkan JPU dan Hakim, sehingga sangat merugikan hak terdakwa Randi Septhian.
Artinya, MITRA jelas-jelas mengakui ada ketidak "becusan" dalam menangani perkara ini. Oleh sebab itu, sudah sepatutnya menjadi sorotan buat wartawan dari sisi netralitasnya.
Baca Juga:
https://www.pospublik.co.id/2020/05/terduga-penculik-anak-dibawah-umur.html
"Kami dari Tim Penasehat Hukum dari Randi Septhian boleh mengomentari, maka justru terdakwalah yang telah terzolimi dan tidak memperoleh keadilan Substansial dan keadilan prosedural. Kenapa demikian? Adalah karena fakta-fakta didalam persidangan tentang pembuktian tidak dipertimbangkan secara memadai. Salah satu contoh adalah hasil rekam medik yang bertentangan hasilnya dengan Visum Et Refertum yang mana hasil Visum Et refertum yang diminta oleh penyidik Pihak Kepolisian yang secara otomatis hasilnya mewakili kepentingan korban dan peradilan. Tetapi Visum Et Refertum tersebut dikesampingkan sekali oleh Majelis Hakim. Rekam medik yang diajukan sebagai bukti dipersidangan yang diperoleh secara tidak prosedural, karena diminta sendri oleh pihak korban atau keluarganya secara diam-diam. Padahal seharusnya rekam medik tersebut harus diminta oleh pihak kepolisian selaku penyidik yang sedang menangani kasus korban karena hal itu bertentangan dengan pasal 133 ayat (1) dan (2) Jo 179 KUHAP serta kode etik Kedokteran Pasal 7. Justru dipertimbangkan oleh Majelis Hakim sebagai putusan. Bahwa tuntutan JPU dan vonis Hakim justru telah memposisikan terdakwa pada posisi terzolimi karena beberapa alasan. Pertama, JPU dan Mejelis Hakim tidak mempertimbangkan dan tidak meletakkan secara adil tentang adanya keterangan dari 2 Ahli kedokteran yg saling kontradiktif terkait dengan sifat luka yang dialami korban. Kedua, hakim juga tidak mempertimbangkan tentang boleh tidaknya rekam medik yang diminta sendiri oleh pihak korban secara diam-diam tanpa surat permintaan dari penyidik kepolisian untuk sebagai alat bukti. Jika ingin menilai “Akrobatik” yang diperankan oleh JPU dan Majelis Hakim, justru terletak dalam konteks kedua fakta tersebut diatas. Kemudian terkait dengan penahanan, semuanya telah bersifat prosedural. Karena penangguhan penahanan itu adalah bagian hak tersangka atau terdakwa yang dijamin oleh undang-undang selama hal itu diperkenankan dan dikabulkan oleh Majelis Hakim. Kami dari pihak terdakwa dan keluarga akan secara terus menerus mencari keadilan, oleh karena itu kami melakukan upaya banding atas perkara ini ke Pengadilan Tinggi Jawa Barat, baik secara substantif maupun secara prosedural, karena dengan hukuman 1,6 tahun yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim terasa amat berat bila dibandingkan dengan luka ringan yang dialami oleh korban,"
Demikian disampaikan tim Kuasa Hukum Randy Septhian dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners dalam komentarnya menanggapi pemberitaan di bekasitimes.id yang diforwarded ke pospublik.co.id yang juga mempublis berita tentang perkara No.64/Pid.B/2020/PN.Bks tersebut.
Dengan dimuatnya berita ini, maka hak jawab, tanggapan, dan hak koreksi
MITRA kami dari T.A Kahar, SH, SIP, MM, M.Si & Partners telah terpenuhi, dengan demikian hak dan kewajiban pospublik.co.id sebagaimana diatur dalam UU pokok Pers No.40 tahun 1999 telah pula terpenuhi. (R-01)