Ket Foti: Dokumentasi, dan Logo AJI |
Melalui siaran persnya Asnil Bambani, Ketua AJI Jakarta menjelaskan kasus kekerasan terhadap wartawan kembali dialami jurnalis setelah menulis berita terkait Presiden Joko Widodo, Selasa 26 Mei 2020. Korban adalah seorang jurnalis Detikcom yang mengalami intimidasi, doxing, teror, bahkan diancam akan dibunuh.
“Kasus ini bermula ketika jurnalis Detikcom menulis berita tentang rencana Jokowi akan membuka mal di Bekasi di tengah pandemi Covid-19. Informasi itu berdasarkan pernyataan Kasubbag Publikasi Eksternal Humas Setda Kota Bekasi,” tulisnya sebagaimana dikutip dari pemberitaan detikcom.
Padahal pernyataan Kasubbag itu telah diluruskan Kabag Humas Pemkot Bekasi, yang menyebut bahwa Jokowi hanya meninjau sarana publik di Kota Bekasi dalam rangka persiapan new normal setelah PSBB. Klarifikasi itu pun telah dipublikasi Detikcom dalam bentuk artikel.
Menurut Ketua AJI, kekerasan terhadap penulis berita tersebut dimulai di media sosial. Nama penulis yang tercantum di dalam berita pun menyebar di internet, dari Facebook hingga Youtube. Salah satu akun yang menyebarkan adalah Salman Faris. Dia mengunggah beberapa screenshot jejak digital penulis untuk mencari-cari kesalahannya. Meskipun isinya tak terkait berita yang dipersoalkan. Selain itu, situs Seword juga melakukan hal serupa dan menyebarkan opini yang menyerang penulis dan media.
“Cara ini dikenal sebagai doxing, yaitu upaya mencari dan menyebarluaskan informasi pribadi seseorang di internet untuk tujuan menyerang dan melemahkan seseorang atau persekusi online. Doxing adalah salah satu ancaman dalam kebebasan pers,” ujar Asnil kepada wartawan sebagaimana diberitakan detikcom.
Menurut Asnil, selain doxing, jurnalis itu juga mengalami intimidasi lantaran diserbu pengemudi ojol yang membawa makanan kepadanya. Padahal kenyataannya tak memesan makanan melalui aplikasi. Bahkan jurnalis tersebut juga diduga menerima ancaman pembunuhan dari orang tak dikenal melalui pesan WhatsApp.
Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyebut, ditengah upaya Jokowi menggencarkan persiapan new normal, pemberitaan yang tak sepaham dengan narasi pemerintah tampaknya menjadi sasaran penyerangan. Hal ini jelas mencederai kemerdekaan pers dan bertentangan dengan amanat Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Pasal 4 ayat (1) dan ayat (3) menjelaskan, salah satu peranan pers adalah melakukan pengawasan, kritik, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan umum. Yang menghambat atau menghalangi maupun penyensoran dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau denda paling banyak Rp 500 juta.
AJI Jakarta juga mengingatkan pihak yang bersengketa terkait pemberitaan agar menyerahkan kasus kepada Dewan Pers serta mendesak Dewan Pers untuk terlibat aktif menyelesaikan kasus kekerasan terhadap jurnalis. AJI juga meminta pemimpin redaksi Detikcom untuk menjamin keselamatan jurnalis dan keluarganya yang terancam karena pemberitaan. (*/R-01)