Oleh: Wilson Lalengke
JAKARTA, POSPUBLIK.CO.ID – Di masyarakat yang sudah maju, ketakutan terhadap pers dan media massa adalah sesuatu yang jadi bahan tertawaan. Justru sebaliknya, masyarakat di sana memandang pers dan publikasi adalah hal mutlak yang harus diberdayakan, dimanfaatkan dan disahabati oleh setiap orang yang ingin berhasil dalam hidupnya, di bidang apapun. Bahkan, warga masyarakat di seberang sana meyakini bahwa pers dan publikasi merupakan penentu nasib setiap orang. Oleh karena itu, pers dan media massa menjadi barang fungsional yang amat penting untuk dilakoni setiap orang secara bebas tanpa hambatan apapun dari pihak manapun, termasuk hambatan dari negara.
Di Indonesia, pers masih merupakan momok mengerikan bagi sebagian warga masyarakat. Terlebih lagi bagi para pejabat, aparat, dan pengemban kekuasaan negara. Apalagi terhadap pers yang independen dan merdeka, akan ditentang sekuat-kuatnya dengan berbagai alibi dan alasan, yang umumnya terkesan absurd. Masing-masing pasti punya alasan tertentu atas sikapnya menjauhi pers dan media massa. Namun, secara umum dapat disimpulkan bahwa ketakutan dan kekuatiran terhadap pers dan publikasi, khususnya bagi para pejabat dan sebangsanya, bersumber dari kesadaran diri atas “beban moral” yang disandangnya sejalan dengan amanah publik yang diembannya. Penyakit tidak jujur adalah salah satu sumber utama yang memicu ketakutan seseorang saat berhadapan dengan media massa.
Parahnya, sindrom ketakutan itu juga diidap oleh oknum-oknum pejabat dewan pers, yang diberi amanah untuk mengembangkan kemerdekaan pers di negeri ini. Mereka akhirnya tidak lebih dari sekelompok anjing penjaga bagi para oknum tertentu yang merasa terganggu oleh kontrol masyarakat pers. Berbagai kasus pemenjaraan wartawan yang berawal dari delik pemberitaan di media massa di berbagai daerah di tanah air adalah bukti konkrit atas kebiadaban oknum tertentu, yang diback-up oleh dewan pers, terhadap kemerdekaan pers.
Menyikapi “keterbelakangan mental” para oknum tertentu terhadap pers, media massa, dan publikasi yang bebas-merdeka, perlu kiranya dilakukan upaya yang terus-menerus dari para pekerja pers dan pemerintah untuk mengedukasi masyarakat, terutama para pemangku kekuasaan tentang sistim kerja pers dan cara “menjinakkan” makhluk yang menakutkan ini. Salah satunya adalah dengan membumikan Undang-Undang (UU) dan peraturan yang terkait dengan pers itu sendiri. Semua elemen rakyat, dari level teratas hingga ke kelompok rakyat jelata perlu mengerti, memahami, dan sedapat mungkin mengimplementasikan UU dan peraturan pers dalam kehidupan sehari-hari.
Saat ini, yang menjadi acuan dasar bagi perjuangan mewujudkan kemerdekaan pers di Indonesia adalah Pasal 28, Pasal 28E ayat (3), dan Pasal 28F Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD RI), plus seluruh penjabarannya dalam UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers. Pondasi dasar yang tertuang dalam konstitusi negara dan UU Pers itulah yang semestinya dipahamkan kepada semua orang, tidak hanya kepada masyarakat pekerja pers. Dengan demikian, setiap warga bisa mengendalikan pikiran, sikap dan perilaku kesehariannya, terutama bagi mereka yang hidupnya dibiayai negara, agar terhindar dari terkaman pers yang menakutkan itu.
Untuk menghindari pembahasan panjang atas pasal demi pasal UU Pers, kita coba belajar memahami pers dan publikasi, dari perspektif UU, dengan menelisik penjelasan UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers, khususnya pada bagian UMUM sebagaimana dituliskan lengkap berikut ini.
Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan. Pers yang meliputi media cetak, media elektronik dan media lainnya merupakan salah satu sarana untuk mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan tersebut. Agar pers berfungsi secara maksimal sebagaimana diamanatkan Pasal 28 Undang-undang Dasar 1945 maka perlu dibentuk Undang-Undang tentang Pers. Fungsi maksimal itu diperlukan karena kemerdekaan pers adalah salah satu perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis.
Dalam kehidupan yang demokratis itu pertanggungjawaban kepada rakyat terjamin, sistem penyelenggaraan negara yang transparan berfungsi, serta keadilan dan kebenaran terwujud.
Pers yang memiliki kemerdekaan untuk mencari dan menyampaikan informasi juga sangat penting untuk mewujudkan Hak Asasi Manusia yang dijamin dengan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia, antara lain yang menyatakan bahwa setiap orang berhak berkomunikasi dan memperoleh informasi sejalan dengan Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak Asasi Manusia Pasal 19 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan memiliki pendapat tanpa gangguan, dan untuk mencari, menerima, dan menyampaikan informasi dan buah pikiran melalui media apa saja dan dengan tidak memandang batas-batas wilayah”.
Pers yang juga melaksanakan kontrol sosial sangat penting pula untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya.
Dalam melaksanakan fungsi, hak, kewajiban dan peranannya, pers menghormati hak asasi setiap orang, karena itu dituntut pers yang profesional dan terbuka dikontrol oleh masyarakat.
Kontrol masyarakat dimaksud antara lain: oleh setiap orang dengan dijaminnya Hak Jawab dan Hak Koreksi, oleh lembaga-lembaga kemasyarakatan seperti pemantau media (media watch) dan oleh Dewan Pers dengan berbagai bentuk dan cara.
Untuk menghindari pengaturan yang tumpang tindih, undang-undang ini tidak mengatur ketentuan yang sudah diatur dengan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dari penjelasan UU Pers pada bagian UMUM di atas, dapat dipahami beberapa hal sebagai berikut:
1. Landasan utama UU Pers adalah Pasal 28 Undang-Undang Dasar Negara Repulbik Indonesia, sebelum amandemen, yang berbunyi: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan Undang-Undang.” (UU Pers lahir pada tahun 1999).
2. Walaupun landasan utama UU Pers hanyalah pasal 28 UUD NRI, namun karena UU Pers itu ditegaskan berorientasi untuk mewujudkan kehendak empat buah pasal Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor: XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia (yang lahir pada tahun 1998) dan Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (yang lahir tahun 19948), maka jiwa dan semangat UU Pers sangat sejalan dengan Pasal 28E ayat (3) dan 28F UUD NRI (yang lahir pada 18 Agustus 2000). Di bawah ini adalah bunyi pasal-pasal yang terkait dengan kemerdekaan pers sebagai berikut:
Pasal 14 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kebebasan menyatakan pikiran dan sikap sesuai hati nurani.”
Pasal 19 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 20 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya.”
Pasal 21 Tap MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia: “Setiap orang berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
Article 19 dari Universal Declaration of Human Right (Piagam HAM PBB): “Everyone has the right to freedom of opinion and expression; this right includes freedom to hold opinions without interference and to seek, receive and impart information and ideas through any media and regardless of frontiers.”
Pasal 28E ayat (3) UUD NRI: “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.”
Pasal 28F UUD NRI: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.”
3. Selain wujud implementasi kedaulatan rakyat dalam bentuk pemilihan umum dengan berbagai level dan variannya, kemerdekaan pers merupakan salah satu bentuk perwujudan kedaulatan rakyat dan merupakan unsur yang sangat penting dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang demokratis. Oleh karena itu, kedua wujud implementasi kedaulatan rakyat tersebut harus seiring-sejalan, dimana jaminan atas kemerdekaan pers akan menjadi penentu kualitas pemilihan umum. Kontrol sosial yang ketat terhadap setiap tahapan proses pemilihan umum oleh masyarakat pers menjadi pertaruhan yang amat menentukan keberhasilan mewujudkan pemilihan umum yang baik di suatu negara demokrasi seperti Indonesia.
4. Keberadaan pers yang merdeka sangat penting untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan baik korupsi, kolusi, nepotisme, maupun penyelewengan dan penyimpangan lainnya. Ini menjadi pesan amat penting bagi setiap orang yang diberi amanah memegang kekuasaan, di semua level dan jenis kekuasaan, bahwa mereka tidak diberi hak oleh negara untuk mengkerdilkan pers, semisal melalui perilaku menghambat kerja-kerja pers melalui penyiksaan, mengancam, jebak-menjebak pers, menyuap, dan kriminalisasi masyarakat pers. Para pemangku kepentingan kekuasaan negara telah diberikan fasilitas hidup oleh negara sebagai konsekuensi beban amanah yang diberikan rakyat, yang oleh karena itu mereka wajib menghormati dan tunduk-taat kepada sistim kontrol masyarakat pers yang independen, bebas, dan merdeka.
5. Masyarakat pekerja pers, baik profesional maupun non-profesional (pewarta warga), wajib melakukan kerja-kerja jurnalisme – yakni mengumpulkan, menyimpan, mengolah, dan mempublikasikan informasi – secara profesional, berkualitas dan menjunjung tinggi kode etik jurnalisme. Pengertian ‘secara profesional’ di sini adalah bahwa setiap orang yang melakukan fungsi jurnalistik harus memiliki kemampuan jurnalistik yang mumpuni, memahami sistim publikasi yang baik dan benar, dan memegang teguh kaidah-kaidah yang berlaku di dunia jurnalisme, yang kesemuanya itu ditujukan untuk menghasilkan karya jurnalistik yang berkualitas (terlepas dari apakah yang bersangkutan mendapatkan imbalan materi atau tidak sama sekali). Produk pers harus dihasilkan melalui proses jurnalisme yang serius, tidak asal-asalan, dan bertanggung jawab.
6. Dalam menjalankan tugasnya, pers wajib dapat dikontrol oleh publik. Fungsi kontrol itu tidak hanya dilakukan oleh orang, kelompok, dan/atau lingkungan yang menjadi obyek pemberitaan, namun juga oleh sesiapapun juga warga/komunitas pemerhati pers dan media massa, serta tokoh/individu. Dalam konteks ini sesungguhnya keberadaan dewan pers dan lembaga-lembaga pemantau pers serta individu (pakar/praktisi) menemukan posisi strategisnya di dunia pers. Oleh sebab itu, perlu didorong lahirnya lembaga-lembaga semacam dewan pers independen dan institusi pemantau media (media watch), baik skala nasional maupun lokal.
Pada akhirnya, pelibatan secara aktif masyarakat banyak terhadap dunia pers sangat diperlukan. Kepedulian, perhatian, dan peran serta setiap warga dapat dilakukan dalam berbagai bentuk, antara lain melakukan kerja-kerja jurnalistik secara fungsional (tanpa harus meninggalkan pekerjaan/profesi utama), memantau perkembangan pers hingga ke tataran teknis proses pembuatan produk pers, mengawasi perilaku para pekerja pers, dan lain-lain. Bahkan, lebih dari pada itu, masyarakat juga dapat melakukan pembinaan, pelatihan, dan peningkatan sumber daya manusia pers, serta menjembantani penyelesaian sengketa pers yang terjadi di masyarakat. Hanya dengan demikian kita mampu mewujudkan pers yang merdeka dan bertanggung-jawab di negeri ini. (*)